Banting Setir, Seniman Tayub Asal Grobogan Putuskan Alih Profesi

GROBOGAN, Lingkarjateng.id – Tayub merupakan salah satu budaya khas Kabupaten Grobogan. Sayangnya, kini mulai meredup tergerus oleh hiburan lainnya. Hal ini membuat banyak Ledhek (Penari Seni Tayub, red) beralih profesi. Sebab pendapatan dari hasil menari sudah tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Kondisi perekonomian yang tidak stabil, mengharuskan para Penari Tayub beralih profesi. Mulai jadi pedagang, petani, maupun menjadi guru seni tari.

Seperti yang dirasakan Ledhek legendaris asal Kabupaten Grobogan ini, Lampi (60) namanya. Saat ini dirinya berprofesi sebagai Pedagang Kreditan Keliling (Mendring pakaian). Perempuan yang terkenal dengan kemerduan suara pada masanya itu, mengaku sudah pensiun dari dunia Tayub 5 tahun lalu.

“Sebenarnya, masih ada yang nge-job tapi saya tolak halus. Saya sudah malu, merasa tak muda lagi. Biar yang muda saja,” ujarnya saat ditemui di kediamannya di Dusun/Desa Kropak, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan.

Lampi mengaku, ia terjun ke dunia Tayub sekitar tahun 1989. Dia nekad menjadi seorang Ledhek karena enggan dijodohkan dengan seorang pria yang tak disukainya.

“Saat itu saya belum ingin menikah, karena merasa masih muda, masih banyak keinginan yang ingin saya capai. Saat itu saya nekad dan Alhamdulillah saya bisa,” tuturnya.

Perempuan kelahiran 1963 itu mengatakan, ia sempat ditentang oleh orang tuanya. Namun dirinya tetap bersikeras. Lambat laun orang tuanya pun merestui dirinya bergelut di dunia Tayub.

“Bapak saya sempat minggat (pergi dari rumah, red) ke Semarang, mungkin karena malu. Karena saya menjadi seorang Ledhek,” ungkap perempuan yang memiliki nama panggung Lastri ini.

Di era 80-an, lanjutnya, Seni Tayub menjadi hiburan paling menarik bagi rakyat Grobogan dan sekitarnya. Bahkan menjadi seorang Ledhek menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi para pelantun lagu-lagu Jawa pada saat itu.

Dia mengatakan, saat itu seni Tayub hampir digemari semua kalangan, baik muda hingga orang tua. Bahkan hampir merata di Jawa Tengah dirinya mendapat undangan manggung.

“Bahkan, saking larisnya saya sempat manggung selama 14 hari berturut-turut tanpa henti. Saat itu dapat upah Rp7.500,” kenangnya.

Dalam dunia Tayub, hal mistik sudah menjadi kewajaran. Bahkan kepercayaan masyarakat Kropak, Kecamatan Wirosari bahwa siapa yang mendapat pulung, dari Punden Raden Bagus Citra akan mampu menjadi ledhek terkenal.

“Sebelum memulai berkarir di dunia Tayub, saya bermimpi. Namun sepertinya saya merasa dimandikan oleh sosok pria berperawakan gagah berjenggot panjang. Dia disebut Raden Bagus Citra. Namun yang ikut saya saat itu Raden Ayu Sekaring Bumi,” jelasnya. (Lingkar Network | Eko Wicaksono – Koran Lingkar)

Similar Posts