Waspada! Sudah 10 Orang Meninggal karena TBC di Grobogan, Masyarakat Diminta Lakukan Ini

GROBOGAN, Lingkarjateng.id – Dari Januari hingga Mei 2024, sudah ada sepuluh orang yang meninggal dunia karena penyakit tuberkulosis atau TBC di Kabupaten Grobogan. Hal itu diungkapan oleh Kepala Dinas Kesehatan Grobogan Slamet Widodo, melalui Sub Koordinator Penanggulangan Penyakit Menular (P2M) Gunawan Cahyo Utomo pada Kamis, 13 Juni 2024.

“Januari hingga Mei kasus TBC ditemukan dan diobati 919 kasus,” ujarnya.

Sementara untuk data pada tahun 2023, Gunawan menyebutkan terdapat 2105 kasus TBC di Grobogan dengan angka kematian 51 kasus. Adapun jumlah kasus yang berhasil disembuhkan mencapai 92,27 persen. Menurutnya, penderita TBC yang meninggal dunia merupakan kasus yang sudah resistensi atau kebal terhadap obat.

Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Grobogan melalui Dinas Kesehatan menggiatkan skrining terhadap masyarakat di setiap kecamatan untuk menekan tingginya angka penderita tuberkulosis (TBC).

“Saat ini kami juga telah memiliki perawatan dan pengobatan terhadap penderita TBC. Cukup lengkap bahkan di tingkat puskesmas,” ujarnya.

Menurut Gunawan, peta penyebaran kasus terjadi secara merata di tiap kecamatan se-Kabupaten Grobogan dan dialami oleh pasien usia 18 sampai 40 tahun. Meski demikian, pihaknya juga menemukan kasus TBC pada anak-anak.

“Pola yang kami pakai dalam menemukan kasus, setiap indeks penderita TBC meningkat di suatu daerah, segera petugas dari puskesmas setempat melakukan kegiatan skrining di rumah dan lingkungan tersebut,” imbuhnya.

Gunawan menjelaskan, anggota keluarga pasien pengidap TBC memiliki risiko penularan yang tinggi. Apalagi, jika rumah tidak memiliki pencahayaan dan ventilasi yang memadai. Selain itu, faktor penularan juga tergantung pada lama kontak, termasuk jumlah kuman yang terjadi saat penderita mengeluarkan percikan dahak dan bercampur dengan udara di dalam rumah.

“Daya tahan tubuh juga penting. Apabila tidak, kuman dapat menggerogoti paru. Sehingga penting untuk dilakukan deteksi dini. Kalau ditemukan kasus penderita perlu minum obat enam bulan tidak boleh putus,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa terdapat kegiatan pencegahan dengan program minum obat satu minggu sekali. Obat bisa diperoleh di rumah sakit, puskesmas, klinik, maupun dokter praktik mandiri.

“Sudah terdapat paket obat, empat macam dikemas jadi satu tablet. Kalau misalnya ada pihak yang dicurigai tertular TBC, dapat dilakukan pemeriksaan laborat di puskesmas,” pungkasnya. (Lingkar Network | Eko Wicaksono – Lingkarjateng.id)

Similar Posts